Xpost.id, Jakarta - Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan aturan baru terkait pengelolaan hasil sendimentasi di laut, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang menambah daftar narasi kebijakan yang meresahkan masyarakat.
Tujuan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut sebagaimana tercantum pada Pasal 2 adalah: (1) menanggulangi sedimentasi yang menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut, dan (2) mengoptimalkan hasil sedimentasi di Laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir.
Sementara itu, pada Pasal 9 dinyatakan bahwa hasil Sedimentasi di Laut dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan atau material sedimen lain berupa lumpur. Pasir laut dapat digunakan untuk empat hal: reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
Berdasarkan pasal tersebut, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan, menyampaikan ada dua hal yang patut disoroti dalam kebijakan ini;
Pertama, Beleid ini menegaskan bahwa Pemerintah mengalihkan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak asasi setiap warga negara Indonesia terhadap lingkungan yang baik dan sehat, terutama di wilayah laut dan pesisir sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi tanggung jawab sektor swasta atau pelaku usaha.
Hal tersebut secara jelas dapat dilihat pada aturan mengenai pengendalian hasil sedimentasi melalui pembersihan (Pasal 10) yang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang memiliki izin Pemanfaatan Pasir Laut.
"Peraturan ini sesungguhnya menyembunyikan orientasi utama komersialisasi laut di balik kedok pelestarian lingkungan laut dan pesisir melalui pengelolaan hasil sedimentasi.”, tegas Dani dalam siaran pers, Selasa (30/5/2023).
Dani juga menegaskan, bahkan peraturan ini lebih buruk dari Keputusan Presiden RI No. 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang dibuat oleh Presiden Kelima RI Megawati Soekarno Puteri untuk mengendalikan dampak negatif pemanfaatan pasir laut bagi lingkungan, nelayan, dan pembudidaya ikan.
Kedua, PP No. 26/2023 membuat langkah mundur dalam pelestarian ekosistem pesisir dan laut dengan kembali membuka perijinan usaha bagi penambangan pasir laut untuk tujuan komersial dan bahkan untuk ekspor.
"Rezim pengaturan hukum yang menurut kami sengaja dimaksudkan untuk merevisi Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Aturan yang dikeluarkan delapan bulan pasca KEPPRES No. 33/2002. Di masa lalu, ekspor pasir laut merupakan bisnis menggiurkan, namun juga telah merugikan negara jutaan dolar akibat ekspor illegal pasir laut. Penambangan pasir laut menjadi tidak terkendali serta merusak lingkungan laut dan pesisir, mengancam kehidupan nelayan, dan menguntungkan negara lain.", lanjut Dani.
KNTI juga menyayangkan, PP ini sama sekali tidak menyinggung nelayan dan pembudidaya yang berpotensi terkena dampak dari aktivitas pemanfaatan pasir laut, baik dalam konsideran maupun pasal-pasal di dalamnya. Nelayan dan pembudidaya merupakan kosa kata yang asing dan tidak dikenal dalam peraturan yang justeru sangat dekat dengan kedua aktor ini.
Sementara itu, Misbachul Munir, Ketua Bidang Advokasi dan Perlindungan Nelayan DPP KNTI mengatakan, penambangan pasir laut secara ekologi dapat meningkatkan abrasi pesisir pantai dan erosi pantai, menurunkan kualitas perairan laut dan pesisir pantai, berpotensi meningkatkan pencemaran pantai, menurunkan kualitas air laut dengan meningkatnya kekeruhan air laut, merusak wilayah pemijahan ikan dan nursery ground, merusak ekosistem mangrove, dan mengganggu lahan pertambakan, mengubah pola arus laut yang sudah dipahami secara turun menurun oleh masyarakat pesisir dan nelayan, hingga kerentanan terhadap bencana di perkampungan nelayan.
"Kerusakan daya dukung ekologi akibat pemanfaatan/penambangan pasir laut akan mengakibatkan terganggunya ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir. Di antaranya adalah menurunnya pendapatan nelayan, biaya operasional melaut yang makin tinggi, dan larangan akses dan melintas di areal penambangan pasir laut, hingga hilangnya lokasi penangkapan ikan bagi nelayan tertentu (seperti nelayan pertorosan atau tadah arus di Surabaya)." ujar Munir yang juga merupakan Ketua DPW KNTI Jawa Timur ini.
Padahal, lanjut Munir, hal ini telah dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 35 huruf (i) UU No. 27 Tahun 2007 yang telah diubah melalui UU No. 1/2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, bahwa dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan budaya menimbulkan kerusakan lingkungan juga pencemaran lingkungan serta merugikan masyarakat sekitarnya. **